A.Anatomi Fisioligi
1.Tibia (tulang kering)
Tulang ini termasuk tulang panjang, sehingga
terdiri dari tiga bagian:
1. Epiphysis proximalis (ujung atas)
Bagian ini melebar secara transversal dan
memiliki permukaan sendi superior pada tiap condylus, yaitu condylus medial dan
condylus lateral. Ditengah-tengahnya terdapat suatu peninggian yang disebut
eminenta intercondyloidea.
2. Diaphysis (corpus)
Pada penampang melintang merupakan segitiga
dengan puncaknya menghadap ke muka, sehingga corpus mempunyai tiga sisi yaitu
margo anterior (di sebelah muka), margo medialis (di sebelah medial) dan crista
interossea (di sebelah lateral) yang membatasi facies lateralis, facies
posterior dan facies medialis.Facies medialis langsung terdapat dibawah kulit
dan margo anterior di sebelah proximal.
3. Epiphysis distalis (ujung bawah)
Ke arah medial bagian ini kuat menonjol dan
disebut maleolus medialis (mata kaki). Epiphysis distalis mempunyai tiga
dataran sendi yaitu dataran sendi yang vertikal (facies articularis melleolaris),
dataran sendi yang horizontal (facies articularis inferior) dan disebelah
lateral terdapat cekungan sendi (incisura fibularis).
2. Fibula
Merupakan tulang yang panjang, langsing,
terletak di sebelah lateral tibia. Epiphysis proximalis membulat disebut
capitulum fibulae. Ke arah proximal meruncing menjadi apex. Pada capitulum
terdapat dua dataran sendi yang disebut facies articularis capitulli fibulae,
untuk bersendi dengan tibia. Pada corpus terdapat empat buah crista yaitu,
crista lateralis, crista anterior, crista medialis dan crista interosssea.
Datarannya ada tiga buah yaitu facies lateralis, facies medialis dan facies
posterior. Pada bagian distal ke arah lateral membulat menjadi maleolus
lateralis.
Fisiologi
Menurut Long, B.C, fungsi tulang secara umum
yaitu :
1. Menahan jaringan tubuh dan memberi bentuk
kepada kerangka tubuh.
2. Melindungi organ-organ tubuh
(contoh:tengkorak melindungi otak)
3. Untuk
pergerakan (otot melekat kepada tulang untuk berkontraksi dan bergerak).
4. Merupakan gudang untuk menyimpan mineral
(contoh kalsium dan posfor)
5. Hematopoiesis (tempat pembuatan sel darah
merah dalam sum-sum tulang).
Menurut Price, Sylvia Anderson, Pertumbuhan
dan metabolisme tulang dipengaruhi oleh mineral dan hormon :
1. Kalsium dan posfor tulang mengandung 99 %
kalsium tubuh dan 90 % posfor. Konsentrasi kalsium dan posfor dipelihara
hubungan terbalik, kalsitonin dan hormon paratiroid bekerja untuk memelihara
keseimbangan.
2. Kalsitonin diproduksi oleh kelenjar tiroid
dimana juga tirokalsitonin yang memiliki efek untuk mengurangi aktivitas
osteoklast, untuk melihat peningkatan aktivitas osteoblast dan yang terlama
adalah mencegah pembentukan osteoklast yang baru.
3 Vitamin D mempengaruhi deposisi dan
absorbsi tulang. Dalam jumlah besar vitamin D dapat menyebabkan absorbsi tulang
seperti yang terlihat dalam kadar hormon paratiroid yang tinggi. Bila tidak ada
vitamin D, hormon paratiroid tidak akan menyebabkan absorbsi tulang sedang
vitamin D dalam jumlah yang sedikit membantu klasifikasi tulang dengan
meningkatkan absorbsi kalsium dan posfat oleh usus halus.
4.Paratiroid Hormon, mempunyai efek langsung
pada mineral tulang yang menyebabkan kalsium dan posfat diabsorbsi dan bergerak
melalui serum. Peningkatan kadar paratiroid hormon secara perlahan-lahan
menyebabkan peningkatan jumlah dan aktivitas osteoklast sehingga terjadi
demineralisasi. Peningkatan kadar kalsium serum pda hiperparatiroidisme dapat
menimbulkan pembentukan batu ginjal.
5.Growth Hormon (hormon pertumbuhan),
disekresi oleh lobus anterior kelenjar pituitary yang bertanggung jawab dalam
peningkatan panjang tulang dan penentuan jumlah matriks tulang yang dibentuk
pada masa sebelum pubertas.
6.Gluikokortikoid, adrenal glukokortikoid
mengatur metabolisme protein. Hormon ini dapat meningkatkan atau menurunkan
katabolisme untuk mengurangi atau meningkatkan matriks organ tulang dan
membantu dalam regulasi absorbsi kalsium dan posfor dari usus kecil.
7.Estrogen menstimulasi aktifitas osteoblast.
Penurunan estrogen setelah menopause mengurangi aktifitas osteoblast yang
menyebabkan penurunan matriks organ tulang. Klasifikasi tulang berpengaruh pada
osteoporosis yang terjadi pada wanita sebelum usia 65 tahun namun matriks
organiklah yang merupakan penyebab dari osteoporosis.
A.Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontiunitas
tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya di sebabkan oleh
trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang di tentukan jenis dan luas
trauma.(lukman 2007,hal 26)
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas jaringan dan atau tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.
(Arif Mansjoer, 2000, hal 346).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang
dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (Brunner & Suddath, 2002, hal
2357).
Patah batang tibia merupakan fraktur yang
sering terjadi dibanding fraktur batang tulang panjang lainnya. (Sjamjuhidajat
& Wim de Jong, 2004, hal 886)
B.Etiologi
Fraktur
disebabkan oleh :(Arif Muttaqin, 2008, hal 70)
a.Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung
pada tulang. Hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya fraktur pada daerah
tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat komuniti dan jaringan lunak
ikut mengalami kerusakan.
b.Trauma tidak langsung
Apabila trauma dihantarkan kedaerah yang
lebih jauh dari daerah fraktur, trauma tersebut disebut trauma tidak langsung.
Misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula.
Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.
Fraktur juga dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan puntir mendadak, dan kontraksi otot ekstrim. (Brunner & Suddart,
2002, hal 2357)
Fraktur disebabkan oleh trauma dimana
terdapat tekanan yang berlebih oleh tulang ( lukman 2007,hal 26)
Jenis dan beratnya patah tulang dipengaruhi
oleh :
1)
Arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang
2)
Usia penderita
3)
Kelenturan tulang
4)
Jenis tulang
Dengan tenaga yang sangat ringan, tulang yang
rapuh karena osteoporosis atau tumor biasanya menyebabkan patah tulang
C.Patofisiologi
Fraktur dapat terjadi karena trauma
/ rudapaksa sehingga dapat menimbulkan luka terbuka dan tertutup. Fraktur luka
terbuka memudahkan mikroorganisme masuk kedalam luka tersebut dan akan
mengakibatkan terjadinya infeksi.
Pada fraktur dapat mengakibatkan
terputusnya kontinuitas jaringan sendi, tulang bahakan kulit pada fraktur
terbuka sehingga merangsang nociseptor sekitar untuk mengeluarkan histamin,
bradikinin dan prostatglandin yang akan merangsang serabut A-delta untuk
menghantarkan rangsangan nyeri ke sum-sum tulang belakang, kemudian dihantarkan
oleh serabut-serabut saraf aferen yang masuk ke spinal melalu “dorsal root” dan
sinaps pada dorsal horn. Impuls-impuls nyeri menyeberangi sum-sum belakang pada
interneuron-interneuron dan bersambung dengan jalur spinal asendens, yaitu
spinothalamic tract (STT) dan spinoreticuler tract (SRT). STT merupakan sistem
yang diskriminatif dan membawa informasi mengenai sifat dan lokasi dari
stimulus kepada thalamus kemudian ke korteks untuk diinterpretasikan sebagai
nyeri.
Nyeri bisa merangsang susunan syaraf
otonom mengaktifasi norepinephrin, sarap msimpatis terangsang untuk
mengaktifasi RAS di hipothalamus mengaktifkan kerja organ tubuh sehingga REM
menurun menyebabkan gangguan tidur.
Akibat nyeri menimbulkan
keterbatasan gerak (imobilisasi) disebabkan nyeri bertambah bila digerakkan dan
nyeri juga menyebabkan enggan untuk bergerak termasuk toiletening, menyebabkan
penumpukan faeses dalam colon. Colon mereabsorpsi cairan faeses sehingga faeses
menjadi kering dan keras dan timbul konstipasi.
Imobilisasi sendiri mengakibatkan
berbagai masalah, salah satunya dekubitus, yaitu luka pada kulit akibat
penekanan yang terlalu lama pada daerah bone promenence.
Perubahan struktur yang terjadi pada
tubuh dan perasaan ancaman akan integritas stubuh, merupakan stressor
psikologis yang bisa menyebabkan kecemasan.
Terputusnya kontinuitas jaringan
sendi atau tulang dapat mengakibatkan cedera neuro vaskuler sehingga
mengakibatkan oedema juga mengakibatkan perubahan pada membran alveolar
(kapiler) sehingga terjadi pembesaran paru kemudian terjadi kerusakan pada
pertukaran gas, sehingga timbul sesak nafas sebagai kompensasi tubuh untk
memenuhi kebutuhan oksigen.
Rudapaksa atau trauma berat
|
Penyakit
(Osteoporosis)
|
||||||||||||||||||||
Adanya hubungan dengan dunia luar
↓
Organisme
merugikan mudah masuk
↓
|
Fraktur
↓
Luka
terbuka
↓
Terputusnya
kontinuitas jaringan
↓
Nyeri saat
digerakan
dan
keengganan bergerak
↓
Kerusakan
mobilitas fisik
↓
Mobilisasi
sekret terganggu
↓
|
Merangsang
nociceptor sekitar untuk mengeluarka histamin, bradikinin, prostaglandin
↓
Nyeri
dihantarkan melalui Serabut A-delta dan
↓
|
|||||||||||||||||||
Cedera
vaskuler, pembentukan trombus
↓
Oedema
↓
↓
perubahan
aliran darah
↓
Perubahan
membran Alveolar (kapiler)
↓
edema paru
↓
|
Penekanan
yang terlalu lama
↓
Sirkulasi
darah terganggu
↓
Pemenuhan
nutrisi dan O2 ke jaringan menurun
↓
Ischemia
↓
Nekrosis
jaringan
↓
↓
Ancaman
integritas
↓
Stressor
↓
|
Tirah
baring yang cukup lama
↓
Bising
usus menurun
↓
Retensi
faeces dalam colon
↓
Cairan
faeces direabsorpsi oleh colon
↓
faeces
kering
↓
|
Sumsum tulang belakang
↓
Serabut
saraf aferen
↓
Spinal
melalui sinap pada dorsal root dan sinap pada dorsal horn
↓
Spinal
assenden (STT/SRT)
↓
Thalamus
↓
Kortek
Serebri
↓
↓
Merangsang
RAS di Hipothalamus
↓
REM
Menururn
↓
|
D.Klasifikasi
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi
tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan
sifat fraktur.
1). Faktur
Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi.
2). Fraktur
Terbuka (Open/Compound), bila terdapat
hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.
b. Berdasarkan
komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1). Fraktur
Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua
korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2). Fraktru
Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
a) Hair
Line Fraktur (patah retidak rambut)
b) Buckle
atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi
tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green
Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang
terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan
bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.
1). Fraktur
Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat
trauma angulasi atau langsung.
2). Fraktur
Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang
dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3). Fraktur
Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan
trauma rotasi.
4). Fraktur
Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong
tulang ke arah permukaan lain.
5). Fraktur
Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada
insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan
jumlah garis patah.
1) Fraktur
Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur
Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
3) Fraktur
Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang
yang sama.
e. Berdasarkan
pergeseran fragmen tulang.
1). Fraktur
Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak
bergeser dan periosteum nasih utuh.
2). Fraktur
Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut
lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokai
ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi
ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi
ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
f. Fraktur
Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
g. Fraktur
Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi
tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat
0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
b. Tingkat
1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c. Tingkat
2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.
d. Tingkat
3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman
sindroma kompartement.
(Apley, A. Graham, 1993, Handerson, M.A,
1992, Black, J.M, 1995, Ignatavicius, Donna D, 1995, Oswari, E,1993, Mansjoer,
Arif, et al, 2000, Price, Sylvia A, 1995, dan Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
E.Manifestasi Klinis
Menurut Brunner dan Suddart
(2002; 2358) Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi,
deformitas, pemendekan ekstermitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan
warna.
1.Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya
sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur
merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untum meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian
yang tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar
biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur
lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terliahat maupun teraba)
ekstermitas yang bisa diketahui dengan membandingkan ekstermitas yang normal.
Ekstermitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur tulang panjang, terjadi
pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan
bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai
2,5-5cm (1-2 inchi).
4.Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan,
teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara
fragmen satu dengan lainnya. Uji kreptus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
yang lebih berat.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal
pada kulit terjadi sebagi akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau cedera.
F.Komplikasi
Brunner dan Suddarth (2002; 2365) membagi
komplikasi fraktur kedalam empat macam, antara lain :
1. Syok
hipovolemik atau traumatik yang terjadi
karena perdarahan dan kehilangan cairan ekstra sel kejaringan yang rusak.
2. Sindrome
emboli lemak (terjadi dalam 24 sampai 72 jam setelah cedera). Berasal dari
sumsum tulang karena perubahan tekanan dalam tulang yang fraktur mendorong
molekul-molekul lemak dari sumsum tulang masuk ke sistem sirkulasi darah
ataupun karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stres.
3. Sindrom
Kompartemen terjadi karena perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang
dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa diakibatkan karna:
a. Penurunan
ukuran kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat atau
gips atau balutan yang terlalu menjerat
b. Peningkatan
isi kompartemen otot karena edema.
4. Tromboemboli,
infeksi dan Koagulopati Intravaskuler Desiminata (KID)
G.Pemeriksaan Penunjang
a.Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi /
luasnya fraktur trauma
b.Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI :
memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak.
c Arteriogram : dilakukan bila kerusakan
vaskuler dicurigai.
d.Hitung daerah lengkap : HT mungkin
meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menurun (
pendarahan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma).
e.Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban
kreatinin untuk klien ginjal.
(Doenges, 2000 : 762
H.Penatalaksanaan
Menurut Price, Sylvia Anderson, alih bahasa Peter
Anugerah, (1994:1187), empat konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu
menangani fraktur :
1. Rekognisi, menangani diagnosis pada tempat
kejadian kecelakaan dan kemudian dibawa ke rumah sakit.
2. Reduksi, reposisi fragmen-fragmen fraktur
semirip mungkin dengan keadaan letak normal, usaha-usaha tindakan manipulasi
fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak
asalnya.
3.Retensi, menyatakan metoda-metoda yang
dilaksanakan untuk menahan fragmen-fragmen tersebut selama penyembuhan.
4.Rehabilitasi, dimulai segera setelah dan
sesudah dilakukan bersamaan pengobatan fraktur, untuk menghindari atropi otot
dan kontraktur sendi.
Penatalaksanaan klien dengan fraktur dapat
dilakukan dengan cara :
1. Traksi
Yaitu penggunaan kekuatan penarikan pada
bagian tubuh dengan memberikan beban yang cukup untuk penarikan otot guna
meminimalkan spasme otot, mengurangi dan mempertahankan kesejajaran tubuh,
untuk memobilisasi fraktur dan mengurangi deformitas.
2.
Fiksasi interna
Yaitu stabilisasi tulang yang patah yang
telah direduksi dengan skrup, plate, paku dan pin logam dalam pembedahan yang
dilaksanakan dengan teknik aseptik.
3.
Reduksi terbuka
Yaitu melakukan kesejajaran tulang yang patah
setelah terlebih dahulu dilakukan fiksasi dan pemanjangan tulang yang patah.
4.
Gips
Adalah fiksasi eksterna yang sering dipakai
terbuat dari plester ovaria, fiber dan plastik.
I.Penatalaksanaan Keperawatan
Pengkajian
Pengkajian
adalah tahap awal dari proses keperawatan dan tahap yang paling enentukan bagi
tahap berikutnya. Kegiatan dalam pengkajian adalah pengumpulan data (Rahmah, Nikmatur dan Saiful walid. 2009;
24).
1.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan
proses yang berisikan status kesehatan klien dengan menggunakan teknik
anamnesis (autoanamnesa dan aloanamnesa) dan observasi.
a.
Biodata Klien
1) Identitas
klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin perlu dikaji karena biasanya
laki-laki lebih rentan terhadap terjadinya fraktur akibat kecelakaan bermotor,
pendidikan, pekerjaan, agama, suku/bangsa, tanggal masuk rumah sakit, tanggal
pengkajian, diagnosa medis, nomor medrek dan alamat.
2)
Identitas penanggung jawab meliputi : nama, umur, pekerjaan, agama, pendidikan,
suku/bangsa, alamat, hubungan dengan klien.
b. Riwayat
Kesehatan
1)
Keluhan utama
Keluhan utama adalah alasan klien masuk rumah sakit
yang dirasakan saat dilakukan pengkajian yang ditulis dengan singkat dan jelas,
dua atau tiga kata yang merupakan keluhan yang membuat klien meminta bantuan
pelayanan kesehatan.
2)
Riwayat Kesehatan Sekarang
Merupakan penjelasan dari permulaan klien merasakan
keluhan sampai dengan dibawa ke rumah sakit dan pengembangan dari keluhan utama
dengan menggunakan PQRST.
P (Provokative/Palliative),
apa yang menyebabkan gejala bertambah berat dan apa yang dapat mengurangi
gejala.
Q (Quality/Quantity),
bagaimana gejala dirasakan klien dan sejauh mana gejala dirasakan.
R (Region/Radiation)
dimana gejala dirasakan ? apakah menyebar? apa yang dilakukan untuk mengurangi
atau menghilangkan gejala tersebut ?
S (Saferity/Scale),
seberapa tingkat keparahan gejala dirasakan? Pada skala berapa?
T (Timing), berapa lama
gejala dirasakan ? kapan tepatnya gejala mulai dirasakan, apakah ada perbedaan
intensitas gejala misalnya meningkat di malam hari.
3) Riwayat
Kesehatan Dahulu
Tanyakan mengenai masalah-masalah seperti adanya
riwayat trauma, riwayat penyakit tulang seperti osteoporosis, osteomalacia, osteomielitis,
gout ataupun penyakit metabolisme yang berhubungan dengan tulang seperti
diabetes mellitus (lapar terus-menerus, haus dan kencing terus–menerus),
gangguan tiroid dan paratiroid.
4) Riwayat
Kesehatan Keluarga
Hal yang perlu dikaji adalah apakah dalam keluartga
klien terdapat penyakit keturunan ataupun penyakit menular dan
penyakit-penyakit yang karena lingkungan yang kurang sehat yang berdampak
negatif pada kesehatan anggota keluarga termasuk klien.
c.
Pemeriksaan Fisik
Dilakukan dengan menggunakan teknik inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi terhadap berbagai sistem tubuh.
1) Keadaan
Umum
Klien yang mengalami immobilisasi perlu dilihat dalam
hal penampilan, postur tubuh, kesadaran, gaya berjalan, kelemahan, kebersihan
dirinya dan berat badannya.
2) Sistem
Pernafasan
Bentuk hidung, ada atau tidaknya sekret, PCH
(Pernafasan Cuping Hidung), kesimetrisan dada dan pernafasan, suara nafas dan
frekwensi nafas. Pengaturan pergerakan pernafasan akan mengakibatkan adanya
retraksi dada akibat kehilangan koordinasi otot. Ekspansi dada menjadi terbatas
karena posisi berbaring akibatnya ventilas paru menurun sehingga dapat
menimbulkan atelektasis. Akumulasi sekret pada saluran pernafasan mengakibatkan
terjadinya penurunan efisiensi siliaris yang dapat menyebabkan pembersihan
jalan nafas yang tidak efektif. Kelemahan pada otot pernafasan akan menimbulkan
mekanisme batuk tidak efektif.
3) Sistem
Kardiovaskuler
Warna konjungtiva pada fraktur, terutama fraktur
terbuka akan terlihat pucat dikarenakan banyaknya perdarahan yang keluar dari
luka, terjadi peningkatan denyut nadi karena pengaruh metabolik, endokrin dan
mekanisme keadaaan yang menghasilkan adrenergik sereta selain itu peningkatan
denyut jantung dapat diakibatkan pada klien immobilisasi. Orthostatik hipotensi
biasa terjadi pada klien immobilisasi karena kemampuan sistem syaraf otonom
untuk mengatur jumlah darah kurang. Rasa pusing saat bangun bahkan dapat
terjadi pingsan, terdapat kelemahan otot. Ada tidaknya peningkatan JVP (Jugular Vena Pressure), bunyi jantung
serta pengukuran tekanan darah. Pada daerah perifer ada tidaknya oedema dan
warna pucat atau sianosis.
4) Sistem
Pencernaan
Keadaan mulut, gigi, bibir, lidah, kemampuan menelan,
peristaltik usus dan nafsu makan. Pada klien fraktur dan dislokasi biasanya
diindikasikan untuk mengurangi pergerakan (immobilisasi) terutama pada daerah
yang mengalami dislokasi hal ini dapat mengakibatkan klien mengalami
konstipasi.
5) Sistem
Genitourinaria
Ada tidaknya pembengkakan dan nyeri daerah pinggang,
palpasi vesika urinaria untuk mengetahui penuh atau tidaknya, kaji alat
genitourinaria bagian luar ada tidaknya benjolan, lancar tidaknya pada saat
klien miksi serta warna urine. Pada klien fraktur dan dislokasi biasanya untuk
sementara waktu jangan dulu turun dari tempat tidur, dimana hal ini dapat
mengakibatkan klien harus BAK ditempat tidur memaskai pispot sehingga hal ini
menambah terjadinya susah BAK karena klien tidak terbiasa dengan hal tersebut.
6) Sistem
Muskuloskeletal
Derajat Range Of Motion pergerakan sendi dari kepala
sampai anggota gerak bawah, ketidaknyamanan atau nyeri ketika bergerak,
toleransi klien waktu bergerak dan observasi adanya luka pada otot akibat
fraktur terbuka, tonus otot dan kekuatan otot. Pada klien fraktur dan dislokasi
dikaji ada tidaknya penurunan kekuatan, masa otot dan atropi pada otot. Selain
itu dapat juga ditemukan kontraktur dan kekakuan pada persendian.
7) Sistem
Integumen
Keadaan kulit, rambut dan kuku. Pemeriksaan kulit
meliputi tekstur, kelembaban, turgor, warna dan fungsi perabaan. Pada klien
fraktur dan dislokasi yang immobilisasi dapat terjadi iskemik dan nekrosis pada
jaringan yang tertekan, hal ini dikarenakan aliran darah terhambat sehingga
penyediaan nutrisi dan oksigen menurun.
8) Sistem
Persyarafan
Mengkaji fungsi serebral, fungsi syaraf cranial,
fungsi sensorik dan motorik sertsa fungsi refleks.
d.
Pola Aktivitas Sehari-hari
1) Pola
Nutrisi
Kebiasaan makan klien sehari-hari dan kebiasaan
makan-makanan yang mengandung kalsium yang sangat berpengaruh dalam proses
penyembuhan tulang dan kebiasaan minum klien sehari-hari, meliputi frekwensi,
jenis, jumlah dan masalah yang dirasakan.
2) Pola
Eliminasi
Kebiasaan BAB dan BAK klien, apakah berpengaruh
terhadap perubahan sistem tubuhnya yang disebabkan oleh fraktur.
3) Pola
Istirahat Tidur
Kebiasaan klien tidur sehari-hari, apakah terjadi
perubahan setelah mengalani fraktur.
4) Personal
Hygiene
Kebiasaan mandi, cuci rambut, gosok gigi dan memotong
kuku perlu dkaji sebelum klien sakit dan setelah klien dirawat dirumah sakit.
5) Pola
Aktivitas
Sejauh mana klien mampu beraktivitas dengan kondisinya
saat ini dan kebiasaan klien berolah raga sewaktu masih sehat.
e.
Aspek Psiko Sosial Spiritual
1)
Data Psikologis Pengkajian psikologis yang dilakukan pada klien dengan
fraktur pada dasarnya sama dengan
pengkajian psikososial dengan gangguan sistem lain yaitu mengenai konsep diri
(gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran diri dan identitas diri). Pada
klien fraktur adanya perubahan yang kurang wajar dalam status emosional,
perubahan tingkah laku dan pola koping yang tidak efektif.
2)
Data sosial
Pada data sosial yang dikaji adalah
hubungan klien dengan keluarga dan hubungan klien dengan petugas pelayanan
kesehatan.
3)
Data Spiritual
Perlu dikaji agama dan kepribadiannya, keyakinan dan
harapan yang merupakan aspek penting untuk penyembuhan penyakitnya.
f.
Data Penunjang
Menurut Doengoes et. al (2002:762), pemeriksaaan
diagnostik yang biasa dilakukan pada pasien dengan fraktur:
1)
Pemeriksaan rontgen
Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
2) Computed
Tomography (CT-SCAN).
Memperlihatkan fraktur dan dislokasi, dapat digunakan
untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak dan untuk mengetahui lokasi dan
panjangnya patah tulang didaerah yang sulit dievaluasi.
3)
Arteriogram
Dilakukan bila dicurigai terdapat kerusakan vaskuler.
4)
Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah lengkap meliputi kadar haemoglobin
yang biasanya lebih rendah karena perdarahan akibat trauma. Hematokrit mungkin
meningkat atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh
dari trauma multiple). Kreatinin (trauma otot meningkatkan beban kreatinin
untuk klirens ginjal). Profil koagulasi (perubahan dapat terjadi pada
kehilangan darah, tranfusi multipel atau cedera hati).
2.
Analisa Data
Data yang sudah dikumpulkan kemudian dikelompokkan
berdasarkan masalahnya kemudian dianalisa dengan menggunakan tabel yang terdiri
dari nomer, data yang terdiri dari data subjektif dan objektif, etiologi dan
masalah, sehingga menghasilkan suatu kesimpulan berupa masalah keperawatan yang
nantinya akan menjadi diagnosa keperawatan.
Diagnosa
Keperawatan
Doenges et.al (2000; 762-775) merumuskan delapan diagnosa keperawatan,
Brunner dan Suddarth (2002; 2363) merumuskan tiga diagnosa keperawatan yang
dapat terjadi pada fraktur tertutup dan Engram, Barbara (1999; 268-271)
merumuskan lima diagnosa keperawatan pada klien dengan fraktur.
Dari tiga pendapat tersebut dapat di simpulkan bahwa diagnosa keperawatan
yang mungkin muncul pada gangguan sistem muskuloskeletal dengan fraktur adalah:
1.Nyeri akut berhubungan dengan
spasme otot, gerakan fragmen tulang, cedera pada jaringan lunak, alat
traksi/imobilisasi
2. Kerusakan mobilitas
fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler.
3. Resiko infeksi
berhubungan dengan kerusakan kulit dan terpajannya dengan lingkungan akibat
fraktur terbuka, fiksasi pen
eksternal.
4.Resiko kerusakan integritas
kulit berhubungan dengan immobilisasi dan terpasangnya alat fiksasi.
5.Risiko perubahan eliminasi :
konstipasi berhubungan dengan
penurunan motilitas usus
6.Kerusakan pola istirahat dan
tidur behubungan dengan nyeri
7. Depisit perawatan diri
berhubungan dengan keterbatasan pergerakan akibat fraktur.
8.Resiko disfungsi
Neurovaskuler berhubungan dengan cedera vaskuler
9.Resiko pola nafas tidak efektif
berhubungan dengan edema paru dan mobilisasi sekret tidak adekuat
10. Ansietas berhubungan
dengan kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan.
Perencanaan
Perencanaan keperawatan adalah menyusun rencana
tindakan keperawatan yang dilaksanakan untuk menanggulangi masalah dengan
diagnosa keperawatan yang telah ditentukan dengan tujuan terpenuhinya kebutuhan
pasien.
1. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan
fragmen tulang, cedera pada jaringan lunak, alat traksi/imobilisasi
Tupan : Nyeri hilang.
Tupen : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
2 hari di harapkan nyeri berkurang, dengan kriteria :
a.
Klien mengatakan nyeri berkurang.
b. Skala nyeri menjadi 2
dari skala nyeri 0-5
c. Tanda-tanda
vital dalam batas normal ( TD = 120/80 mmHg; RR = 16-24 x/menit; N = 60-80 x/menit; S = 36,5-37,50 C).
d. Klien dapat melakukan
teknik distraksi dan relaksasi yang tepat.
Rencana :
Tabel 2.4
Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, cedera
pada jaringan lunak, alat traksi/imobilisasi
Intervensi
|
rasionalisasi
|
a. Pertahankan
imobilisasi bagian yang sakit dengan
tirah baring, gips, pembebat, traksi.
b. Tinggikan dan sokong
ekstremitas yang mengalami luka/fraktkur.
c. Kaji tngkat nyeri
klien
d. Lakukan tekhnik distraksi
dengan cara mengajak klien berbincang-bincang
e. Berikan alternatif
tindakan kenyamanan, contoh pijatan, pijatan punggung, perubahan posisi.
f. Lakukan dan
awasi latihan rentang gerak pasif/aktif.
g. Dorong klien untuk
menggunakan teknik manajemen stres, contoh relaksasi progresif, latihan napas
dalam, imajinasi visualisasi. Sentuhan terapeutik.
|
a. Menghilangkan nyeri dan mencegah
kesalahan posisi tulang/tegangan jaringan yang cedera.
b. Untuk meingkatkan aliran darah balik
vena, menurunkan edema, menurunkan nyeri.
c. Dengan menkaji tingkat nyeri
klien untuk keefektifan pengawasan intervensi. Tingkat ansietas dapat
mempengaruhi persepsi/reaksi terhadap nyeri.
d. Dengan melakukan teknik distraksi pada
klien dengan cara berbincang-bincang, dapat mengalihkan perhatian klien tidak
hanya tertuju pada nyeri.
e. Meningkatkan sirkulasi umum ;
msnurunkan area tekanan lokal dan kelelahan otot.
f. Mempertahankan kekuatan/mobilitas
otot yang sakit dan memudahkan resolasi inflamasi pada jaringan yang cedera.
g. Memfokuskan kembali perhatian,
meningkatkan rasa kontrol, dan dapat meningkatkan kemampuan koping dalam
manajemen nyeri, yang mungkin menetap untuk periode lebih lama.
|
Sumber: Doenges et.
al. (2000, hal 765) Rencana Asuhan
Keperawatan Untuk
PerencanaanDan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta.
2.
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan
kerusakan rangka neuromuskuler.
Tupan :
Immobilisasi fisik tidak terjadi.
Tupen :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2
hari diharapkan dapat melakukan mobilitas fisik dengan bantuan minimal, denngan
Kriteria hasil :
a.Klien mampu meningkatkan/mempertahankan
mobilitas pada paling tinggi.
b.Klien mampu mempertahankan posisi
fungsional.
c.Klien mampu meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit
dan/ mengkompensasi bagian tubuh.
d.Klien mampu menunjukan kemampuannya.
Rencana :
Tabel 2.5
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neuromuskuler.
Intervensi
|
Rasionalisasi
|
a. Lakukan rentang gerak aktif
pada anggota gerak sehat sedikitnya 4 kali/hari
b. Lakukan latihan rentang gerak
pasif pada anggota gerak yang sakit dengan hati-hati, dan sangga ekstrimitas
yang fraktur.
c. Ubah posisi setiap 2-4 jam
d. Tingkatkan latihan gerak secara
perlahan.
-
Hari kedua post op, klien bisa duduk di tempat tidur dengan nyaman
-
Hari ketiga post op, klien bisa turun
dari tempat tidur dan jalan-jalan di sekitar dengan tangan yang fraktur
disangga
|
a. Mencegah/menurunkan insiden
komplikasi kulit, menghindari spasme otot, dan gerak aktif meningkatkan
kemandirian dalam pergerakkan
b. Gerak pasif dapat mencegah
kontraktur, dan dengan cara disangga, agar tidak terjadi pergeseran pada
tulang yang fraktur
c. Melancarkan sirkulasi sehingga
mempercepat penyembuhan serta mencegah/menurunkan insiden komplikasi kulit.
d.
Rentang grak secara bertahap dimungkinkan tidak menyebabkan keterkejutan pada
klien
|
Sumber: Doenges et.
al. (2000, hal 769) Rencana Asuhan
Keperawatan Untuk Perencanaan
Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta
3.
Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit dan terpajannya dengan
lingkungan akibat fraktur terbuka, fiksasi pen
eksternal.
Tupan : Infeksi tidak terjadi.
Tupen : Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 2 hari, diharapkan tanda-tanda infeksi tidak
terjadi, dengan Kriteria :
a.
Tidak ditemukannya tanda – tanda infeksi.
b. Tanda
vital terutama suhu tidak terjadi peningkatan atau dalam batas normal.
c. Leukosit
normal (4.000 – 10.000)
Rencana :
Tabel 2.6
Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit dan terpajannya dengan
lingkungan akibat fraktur terbuka, fiksasi pen
eksternal
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Observasi luka untuk pembentukan bula, krepitasi, perubahan warna kulit, bau
drainage yang tidak enak/asam.
2.
Kaji sisi pen/kulit, perhatikan keluhan peningkatan nyeri/rasa terbakar atau
adanya oedema, eritema, drainage / bau tak enak.
3.
Berikan perawatan pen/kawat steril sesuai protokol dan latihan mencuci
tangan.
4.
Kaji tonus otot, reflek tendon dalam dan kemampuan untuk berbicara.
5.
Lakukan prosedur isolasi.
6.
Berikan obat sesuai dengan indikasi, contoh antibiotik IV/topikal.
7.
Kolaborasi pemeriksaan laboraorium, hitung darah lengkap.
|
1.
Tanda perkiraan gangren.
2.
Dapat mengindikasikan timbulnya infeksi lokal/nekrosis jaringan yang dapat
menimbulkan adanya osteomeilitis.
3.
Dapat mencegah kontaminasi silang dan kemungkinan infeksi.
4.
Kekuatan otot, spasme tonik otot rahang dan disphagia menunjukan adanya
tetanus.
5.
Adanya drainage purulen akan memerlukan kewaspadaan luka untuk mencegah
kontaminasi silang.
6.
Antibiotik spektrum luas dapat digunakan secara propilaktip pada
mikroorganisme khusus.
7.
Leukositosis biasanya ada dengan proses infeksi.
|
Sumber: Doenges et. al. (2000, hal
765) Rencana Asuhan Keperawatan Untuk
Perencanaan Dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta
4.Resiko
Kerusakan Integritas Kulit berhubungan
dengan Imobilisasi dan Terpasangnya Alat Fiksasi.
Tupan : Integritas kulit terpelihara
Tupen : Setelah dilakukan perawatan selam 2 hari,
diharapkan tanda-tanda dekubitus tidak terjadi, dengan kriteia:
a. Tidak ada kemerahan pada daerah yang tertekan
terutama bokong dan tumit
b. Tidak teraba panas pada daerah tertekan
c. Tidak terdapat lecet pada daerah tertekan
Tabel 2.7
Resiko Kerusakan Integritas Kulit
berhubungan dengan
Imobilisasi dan Terpasangnya Alat Fiksasi.
Intervensi
|
Rasionalisasi
|
a. Kaji kulit untuk luka terbuka,
benda asing, kemerahan, perdarahan, perubahan warna, kelabu, memutih.
b. Masase kulit dan penonjolan
tulang. Pertahankan tempat kering dan bebas kerutan. Tempatkan bantalan
air/bantalan lain bawah kiku/tumit sesuai inidikasi.
c. Kaji posisi bebat pada alat
traksi
d. Lakukan mobilisai aktif maupun
pasif.
|
a. Memberikan informasi
tentang sirkulasi kulit dan masalah yang mungkin disebabkan oleh alat
dan/atau pemasangan bebat atau traksi, atau pembentukan edema yang
membutuhkan intervensi medik lanjut.
b. Menurunkan tekanan
konstan pada area yang peka da risik abrasi/kerusakan kulit
c. Posisi yang tak tepat
dapat menyebabkan cedera kulit/kerusakan.
d. Dengan mobilisasi
aktif maupun pasif sirkulasi darah pada daerah tertentu lancar dan
penekanan-penekanan pada daerah tertentu tidak berlebihan
|
Sumber: Doengoes, et. al. (2000, hal
771). Rencana Asuhan Keperawatan Untuk
Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta
5.
Kerusakan pola istirahat dan tidur behubungan dengan nyeri
Tupan :
kerusakan pola istirahat teratasi
Tupen :
setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam Kebutuhan istirahat tidur
terpenuhi, dengan kriteria:
a.
Tidur/istirahat diantara gangguan
b.
Melaporkan peningkatan rasa sehat dan merasa dapat istirahat
Rencana:
Tabel .2.8
Gangguan Pola Tidur berhubungan dengan Nyeri
Intervensi
|
Rasionalisasi
|
a. Berikan makanan
kecil, susu hangat sore hari
b. Turunkan jumlah minum
sore hari, lakuikan berkemih sebelum tidur
c. Batasi masukan
makanan dan minuman mengandung kafein
d. Kolaborasi dalam
pemberian obat analgetik dan sedatif
|
a. Meningkatkan relaksasi dengan perasaan
mengantuk
b. Menurunkan kebutuhan
akan bangun untuk pergi ke kamar mandi
c. Kafein dapat
memperlambat klien untuk tidur dan memopengaruhi tidur tahap REM.
d. Nyeri meruhi
kemampuan klien untuk tidur, dsan sedatif obat yang tepat untuk menuiingkatkan
istiraht
|
Sumber : Doengoes, et. al. (2000, hal
493, 385). Rencana Asuhan Keperawatan
Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC,
Jakarta
6.
Risiko
perubahan eliminasi : konstipasi berhubungan dengan
penurunan motilitas usus
Tupan : BAB lancar
Tupen : Setelah dilakukan perawatan
selama 2 hari diharapkan klien dapat BAB dengan lancar dengan konsistensi
lunak, dengan kriteria :
a. Klien dan keluarga mengetahui
tentang jenis-jenis makanan yang dapat dikonsumsi.
b. BAB lancar dan normal (1-2 x/hari) dengan
warna kuning, konsistensi lembek dan bau khas feces.
c. Tidak terjadi distensi pada abdomen
d. Hasil auskultasi peristaltik usus
normal 4-12 x/menit
Rencana :
Tabel 2.9
Risiko perubahan
eliminasi : konstipasi berhubungan dengan penurunan
motilitas usus
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Melatih klien untuk melakukan pergerakan yang melibatkan daerah abdomen
seperti miring kanan dan miring kiri.
2.
Berikan cairan yang adekuat.
3.
Beri makanan yang tinggi serat.
|
1.
Dengan tindakan tersebut akan meningkatkan ketegangan otot abdomen yang
membantu peningkatan peristaltik sehingga feses yang keluar lancar.
2.
Dengan memberikan cairan akan meningkatkan kandungan air dalam feses sehingga
BAB menjadi lancar.
3.
Makanan tinggi serat akan menarik cairan dari lumen usus sehingga feses
menjadi lembek dan mudah untuk dikeluarkan.
|
Sumber: Doenges et. al. (2000, hal 576) Rencana Asuhan Keperawatan Untuk Perencanaan Dan
Pendokumentasian
Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta
7.
Defisit Perawatan Diri berhubungan dengan Keterbatasan Pergerakan Akibat
Fraktur
Tujuan : Kebutuhan perawatan diri terpenuhi
Tupen: setelah dilakukan tindakan
keperawatan 2x24 jam defisit perawatan diri teratasi, dengan kriteria:
a.
Mendemontrasikan teknik perubahan gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan perawatan
diri
b.
Melakukan perawatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri
Rencana:
Tabel 2.10
Defisit Perawatan Diri berhubungan dengan
Keterbatasan Pergerakan Akibat Fraktur
Intervensi
|
Rasionalisasi
|
a. Beri informasi
tentang pentingnya perawatan diri bagi klien
b. Bantu dan
fasilitasi klien dalam melakukan personal higiene
c. Jaga kebersihan
pakaian dan alat tenun klien
d. Berikan lotion dan
talk setelah mandi
|
a. Dengan memberikan
informasi dapat menambah wawasan pengetahuan klien tentang cara perawatan
diri yang benar
b. Dengan menyediakan dan
mendekatkan akan mendorong kemandirian klien dalam hal melakukan aktivitas
c. Pakaian yang bersih
dan alat tenun yang kering dapat mencegah terjadinya gatal.
d. Untuk meningkatkan rasa
nyaman klien dan dapat mencegah terjadinya biang keringat
|
Sumber:Doengoes,
et. al. (2000, hal 301). Rencana Asuhan
Keperawatan Untuk Perencanaan
Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta
8.
Resiko Disfungsi Neurovaskuler berhubungan dengan cedera vaskuler
Tupan :
Perfusi jaringan adekuat
Tupen : setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam
diharapkan tidak ada tanda-tanda penurunan perfusi jaringan, dengan kriteria :
a.
Kesadaran kompos mentis
b.
Tanda-tanda vital dalam batas normal ( TD
= 120/80 mmHg; RR = 16-24 x/menit; N
= 60-80 x/menit; S = 36,5-37,50
C)
c.
Akral hangat
Rencana:
Tabel 2.11
Resiko Disfungsi Neurovaskuler berhubungan dengan
cedera vaskuler
Intervensi
|
Rasionalisasi
|
a. Lepaskan perhiasan dari
ekstrimitas yang sakit
b. Kaji aliran kapiler, warna kulit,
dan kehangatan distal pada fraktur
c. Lakukan pengkajian
neuromuskular, perhatikan perubahan fungsi motor/sensor
d. Kaji keluhan rasa terbakar dibawah gips
e. Awasi posisi/lokasi cincin
penyokong bebat
f. Selidiki tanda iskemia
ekstrimitas tiba-tiba, contoh peniurunan suhu kulit, dan peningkatan nyeri]
g. Dorong pasien untuk
melakukan ambulasi sesegera mungkin
h. Selidiki nyeri tekan,
pembengkakan pada dorso fleksi kaki.
i. Awasi tanda vital.
|
a. Dapat
membendung sirkulasi bila terjad edema
b. Warna kulit putih
menunjukkan gangguan arterial. Sianosis diduga gangguan vena
c. Gangguan perasaan
kebas, kesemutan, peningkatan nyeri terjadi bila sirkulasi pada saraf tidak
adekuat atau saraf rusak
d. Faktor ini disebabkan atau
mengidentifikasikan tekanan mjaringan/iskemia, menimbulkan kerusakan atau
nekrosis
e. Alat traksi dapat
menyebabkan tekanan pada pembuluh darah/saraf, terutama pada aksila dan lipat
paha.
f. Dislokasi
fraktur sendi (khususnya lutut) dapat menyebabkan kerusakan arteriyang
berdekatan, dengan akibata hilangnya aliran darah ke distal
g. Meningkatkan
sirkulasi dan menurunkan pengumpulan darah khususnya pada ekstrimitas bawah
h. Terdapat peningkatan
untuk tromboplebitis dan emboli paru pada pasien imobilisasi selama lima hari
i. Perubahan
tanda-tanda vital menunjukkan peningkatan sirkulasi
|
Sumber:Doengoes,
et. al. (2000, hal 766). Rencana Asuhan
Keperawatan Untuk Perencanaan
Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC,
Jakarta
9.
Ansietas berhubungan dengan Kurang pengetahuan
Tupan :
Cemas hilang
Tupen :
setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam cemas berkurang, dengan
kriteria:
a.
Klien tampak rileks
b.
Melaporkan ansietas berkurang
Rencana:
Tabel 2.12
Ansietas berhubungan dengan
Kurang pengetahua
Intervensi
|
Rasionalisasi
|
a. Jalin rasa percaya
b. Kaji ulang tingkat kecemasan
klien
c. Berikan kesempatan
mengekspresikan perasaannya
d. Berikan penjelasan tentang
penyakit yang diderita
e. Berikan kesempatan bertanya
untuk
|
a. Rasa percaya
dapat melahirkan keterbukaan
b. Dapat mengetahui
derajat kecemasan klien sehingga memudahkan intervensi selanjutnya
c. Beban kecemasan
dapat berkurang dengan diekspresikan
d. Dengan mengetahui
penyakit, dimungkinkan klien akan merasa tenang
e. Dimungkinkan
dapat mengetahui hal yang tidak diketahui
|
Sumber: Doengoes, et. al. (2000, hal
922) . Rencana Asuhan Keperawatan Untuk
Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta
10. Resiko
pola nafas tidak efektif berhubungan dengan edema paru dan mobilisasi sekret
tidak efektif
Tupan :
pola nafas adequat
Tupen :
setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam tidak ditemukannya tanda-tanda
ketidak efektifan pola nafas, dengan kriteria:
a.
Mempertahankanpola nafas adequat
b.
Frekuensi nafas 12-24x/menit
c.
Tidak adanya dispneu/sianosis
Rencana:
Tabel 2.13
Resiko pola nafas tidak efektif
berhubungan dengan
Edema paru dan mobilisasi sekret tidak efektif
Intervensi
|
Rasionalisasi
|
a. Awasi
frekuensi pernafasan dan upayanya. Perhatikan stridor, penggunaan otot bantu,
retraksi, terjadinya sianosis sentral.
b Auaskultasi
bunyi nafas perhatikan terjadinya ketidak samaan
c. Atasi jaringan cedera/tulang dengan lembut,
khusunya selama beberapa hari pertama
d. Bantu dalam latihan nafas dalam
e Observasi sputum untuk tanda adanya darah
|
a. Tarkifne,
dispnea, dan perubahan dalam mental dan tanda dini insufisiensi pernafasan
dan mungkin hanya indikator terjadinya emboli paru tahap awal
b. Perubahan dalam bunyi
adventisius menunjukan terjadinya komplikasi pernafasan
c. Dapat mencegah
terjadinya emboli lemak, yang erat hubungannya dengan fraktur.
d. Menungkatkan
ventilasi alveolar dan prfusi. Reposisi meningkatkan drimnage sekret dan
menurunkan kongesti pada area dependen.
e. Hemodialisa
dapat terjadi dengan emboli paru
|
Sumber:Doengoes, et. al. (2000, hal
768) . Rencana Asuhan Keperawatan Untuk
Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta
Implementasi
Implementasi
atau pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Kegiatan dalam implementasi juga meliputi pengumpulan data
berkelanjutan, mengobservasi respon klien selama dan sesudah pelaksanaan
tindakan dan menilai data yang baru (Rahmah, Nikmatur dan Saiful walid. 2009;
89).
Menurut
wilknison (2007; dalam Nurjanah, Intansari. 2010; 186) implementasi yang bisa
dilakukan oleh perawat terdiri dari: do
(melakukan), delegate
(mendelegasikan) dan record
(mencatat).
Evaluasi
Rahmah,
Nikmatur dan Saiful walid (2009; 94-96) menjelaskan bahwa evaluasi adalah
penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yang
diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan.
Evaluasi
bertujuan untuk mengakhiri rencana tindakan keperawatan, memodifikasi rencana
tindakan keperawatan dan meneruskan rencana keperawatan.
Evaluasi
terdiri dari evaluasi proses (formatif) dan evaluasi hasil (sumatif). Evaluasi
formatif adalah evaluasi yang dilakukan setiap selesai tindakan, berorientasi
pada etiologi dan dilakukan secara terus-menerus sampai tujuan yang telah
ditentukan berhasil. Sedangkan evaluasi sumatif dilakukan setelah akhir
tindakan keperawatan secara paripurna, berorientasi pada masalah keperawatan,
menjelaskan keberhasikan/ketidak berhasilan, rekaputasi dan kesimpulan status
kesehatan klien sesuai dengan kerangka waktu yang ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
1.Doenges,
Marilynn E. et.al. (2000) Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien. Jakarta : EGC.
2.Rasjad,
Chairuddin. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar : Lintang
Imumpasue.
3.Smeltzer,
Suzanne C. Bare Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, Edisi 8.
Jakarta : EGC
4.Syaifuddin.
2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi III. Jakarta : EGC.
5.Arif
Mutaqin.2008.Asuhan Keperawatan Sistem Muskuluskeltal
terima kasih banyak yaa bg muhammad arifin ,blog ini sangat membantu saya bg
BalasHapusterima kasih bg
Sama-sama :)
HapusSama-sama :)
HapusSama-sama :)
Hapus